Wednesday, February 13, 2008

MENGENANG KEPMENDAGRI 29-2002 PENGELOLAAN KEUDA

KEPMENDAGRI NO. 29/2002 :
TINJAUAN LAHIRNYA SEBAGAI SEBUAH KEPUTUSAN

Pendahuluan

PP 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, merupakan salah satu peraturan operasional dalam implementasi Otonomi Daerah. PP ini telah mendorong Daerah-daerah untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam manajemen dan pengelolaan keuangan Daerah. Dengan manajemen Keuangan Daerah yang sehat diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah di bidang keuangan akan lebih terukur. Oleh karena itu, lahirnya PP tersebut merupakan langkah maju Pemerintah Pusat dan terobosan yang revolusioner dalam menata sistem pemerintahannya khususnya dalam pengelolaan keuangannya. Upaya ini harus mendapat dukungan dari semua pihak karena merupakan salah satu tuntutan reformasi yang menekankan pada upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

PP ini juga telah melahirkan regulasi baru sebagai aturan pelaksanaannya yaitu Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran dan Belanja Daerah. Dikatakan bahwa Kepmendagri 29/2002 ini dikeluarkan sebagai amanah Otonomi Daerah, sebagai tindak lanjut dan aturan pelaksana dari PP 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Dalam pelaksanaannya, Kepmendagri No. 29/2002 ini setengah dipaksakan bagi Pemerintah Daerah untuk menjadi acuan utama dalam pengelolaan keuangan. Bahkan Daerah-daerah diwajibkan untuk menyusun APBD dan membuat Sistem Akuntansi Keuangan Daerahnya dengan mengacu kepada Kepmendagri 29/2002 ini. Suatu pemaksaan yang justru menggambarkan kelemahannya. Selain membingungkan, Kepmendagri No. 29/2002 tidak memiliki landasan konsepsional yang kuat sehingga tidak memiliki konsistensi karena sering berubah-ubah dalam sosialisasi melalui training dan pelatihan-pelatihannya.

Hal ini WAJAR karena Kepmendagri No. 29/2002 ini lahir berkat adanya ayat sisipan (colongan) dalam PP 105/2000. Dengan ayat ini, maka dibuatlah proyek-proyek besar berskala nasional yang banyak menyerap dan menghasilkan dana, baik dari dana pusat maupun dari daerah-daerah.

TELAAH

Sebelum menelaah lebih lanjut, berikut ini dipaparkan beberapa pasal dalam peraturan-peraturan tentang Otonomi Daerah:

UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah:

1. Pasal 69, “Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

2. Pasal 70, “Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

3. Pasal 86 ayat (4), “Pedoman tentang penyusunan, perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”

4. Pasal 86 ayat (6), “Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan Daerah serta tata cara penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan Daerah dan penyusunan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah:

1. Pasal 23 ayat (1), “Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.”

2. Pasal 23 ayat (2), “Sistem dan Prosedur pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

3. Pasal 27 ayat (1), “Pemerintah Pusat menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan Daerah.”

4. Pasal 27 ayat (3), “Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”

PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah:

1. Pasal 14 ayat (1), “Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

2. Pasal 14 ayat (2), “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengatur tentang :

a. kerangka dan garis besar prosedur penyusunan APBD;

b. kewenangan keuangan Kepala Daerah dan DPRD;

c. prinsip-prinsip pengelolaan kas;

d. prinsip-prinsip pengelolaan Pengeluaran Daerah yang telah dianggarkan;

e. tata cara pengadaan barang dan jasa;

f. prosedur melakukan Pinjaman Daerah;

g. prosedur pertanggungjawaban keuangan;

h. dan hal-hal lain yang menyangkut pengelolaan Keuangan Daerah.”

3. Pasal 14 ayat (3), “Sistem dan Prosedur pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”

4. Pasal 14 ayat (4), “Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan Daerah serta tata cara penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan Daerah dan penyusunan perhitungan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.”

Dari berbagai pasal dan ayat dalam peraturan perundang-undangan tentang Otonomi Daerah di atas, dapat dilihat bahwa dalam berbagai aspek berkaitan dengan pengelolaan Keuangan Daerah, dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah. Namun, bagaimana pun juga Perda dan Keputusan Kepala Daerah harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan hierarki peraturan yang berlaku di Indonesia. (Lihat pasal 70 UU No 22/1999 di atas).

Sebagaimana kita semua tahu bahwa hierarki peraturan perundangan yang ada di Indonesia adalah: UUD, Tap MPR, UU, PP, Perpu, Kepres, Inpres, dan Kepmen. Sedangkan Perda merupakan peraturan tertinggi untuk skup Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah untuk mengatur berbagai hal yang memang menjadi wewenang Daerah dalam pengelolaannya. Perda merupakan kesepakatan dan keputusan bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD, yang berarti ‘setingkat’ dengan UU untuk Pemerintah Pusat. Namun demikian, karena Daerah tidak berdiri sendiri sebagai sebuah negara, maka Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan dari Pusat, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan melihat kondisi di atas, maka seyogyanya sebuah Perda harus mengacu kepada UUD sampai dengan PP sebagai keputusan dan kebijakan dari Pemerintah Pusat. Perda tidak harus tunduk mutlak kepada Keputusan Menteri, kecuali untuk bidang kewenangan yang diatur oleh Pemerintah pusat dan ditangani oleh departemen khusus oleh Pusat, misalnya Departemen Luar Negeri, Pertahanan, Agama dan Keuangan. Akan tetapi, Kepmen dapat menjadi pedoman bagi Daerah selama Kepmen tersebut mengatur hal-hal yang betul-betul menjadi bidang kewenangan menteri/departemen yang bersangkutan. Jika tidak demikian, maka akan terjadi banyak penyimpangan, kejanggalan dan pertentangan antar peraturan dalam mekanisme penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Jika wilayah departemen A diambil oleh departemen B, masing-masing mengeluarkan aturan dan panduan pelaksanaan bagi Daerah, maka apa yang terjadi dapat kita bayangkan. Di tingkat Pusat akan dicap tidak ada koordinasi dan di tingkat Daerah akan terjadi kebingungan dalam implementasinya. Kalau suatu masalah ditangani oleh lembaga yang bukan merupakan bidang kompetensinya, maka kemungkinan besar akan terjadi ketidakjelasan dan kerancuan dalam penanganan masalah tersebut. Dan pada akhirnya banyak permasalahan baru yang muncul kemudian dalam implementasi peraturan tersebut.

Dalam tata kelola Pemerintahan Daerah terutama dalam hal pengelolaan Keuangan Daerah sebagai wujud implementasi Otonomi Daerah, apa yang digambarkan di atas benar-benar terjadi. Departemen Dalam Negeri yang secara historis merupakan ‘bapaknya’ pemerintah daerah, tidak rela kehilangan kekuasaannya yang begitu besar dengan adanya otonomi daerah. Dengan dalih pembinaan keuangan daerah, intervensi penyelenggaraan pemerintah daerah, dan berlindung di balik PP 105/2000 maka Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan produk hukum yang sangat membingungkan daerah, yaitu Surat Keputusan Nomor : 29 tahun 2002 tanggal 10 Juni 2002. (Lihat pasal 14 ayat (4) PP 105/2000 di atas)

Selain itu, Departemen Dalam Negeri melalui suratnya kepada Presiden RI Nomor 901/360/SJ tanggal 20 Pebruari 2003 perihal Kerancuan sekitar Pengelolaan Keuangan Daerah, telah menuduh Departemen Keuangan telah menyerobot wilayah kekuasaannya dalam hal pembinaan dan pengaturan pengelolaan keuangan daerah. Depdagri telah menganggap bahwa distorsi peran Depkeu dalam pembinaan keuangan daerah, khususnya akuntansi keuangan daerah ini telah menyebabkan mencuatnya berbagai permasalahan dalam manajemen keuangan daerah.

Hal ini justru terbalik, semenjak Otonomi Daerah Depdagri tidak bisa lagi intervensi terlalu jauh terhadap Daerah, karena Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan Daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Diperlukan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis, efisien, efektif dan akuntabel. Bidang pengelolaan keuangan publik, baik pemerintah pusat maupun daerah adalah wewenang dari Departemen Keuangan sebagai pemegang otoritas public finance policy. Oleh karena itu, untuk mengatur masalah pengelolaan keuangan daerah harus diberikan kepada departemen yang mempunyai bidang kompetensinya yaitu Departemen Keuangan.

Departemen Keuangan juga akan menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagai fasilitas untuk melakukan validasi, mengolah, menganalisis data dan menyediakan informasi keuangan daerah. (Lihat pasal 27 ayat (1) dan (3) UU No 25/1999 di atas). Sistem ini bertujuan untuk membantu Menteri Keuangan dalam merumuskan kebijakan keuangan daerah, evaluasi kinerja keuangan daerah, dan membantu Pemerintah Daerah dalam penyusunan RAPBD, pemerintahan dan pembangunan Daerah. Jadi yang akan melakukan kompilasi informasi keuangan daerah adalah Departemen Keuangan bukan Departemen Dalam Negeri. Oleh karena itu, aturan, pedoman dan standar dalam penyelenggaraan administrasi dan akuntansi keuangan daerah yang mengatur adalah Departemen Keuangan.

TINJAUAN ATAS PASAL 14 PP 105/2000

Kepmendagri 29/2002 lahir sebagai tindak lanjut dan aturan pelaksana dari PP 105/2000 sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (4). Padahal kalau kita tinjau dan teliti lebih dalam pasal 14 dalam PP 105, terdapat kejanggalan dalam aturan tersebut. Sudah jelas diatur ketentuan mengenai pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Peraturan Daerah, dan Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Perda. Isi dari pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah juga sudah dirinci dalam ayat (2) pasal 14. Tiba-tiba muncul ayat (4) yang terasa tidak nyambung dengan 3 ayat sebelumnya. Kalau memang Kepmendagri akan menjadi pedoman dalam pengelolaan keuangan daerah, harusnya dicantumkan dalam ayat (1). Akan terdengar lucu ketika pedoman yang menjadi rujukan ayat (1), (2), dan (3) ada di ayat (4). Ayat rujukan dan referensi ada di paling belakang (baca: lahir belakangan).

Ayat (1) telah berbicara mengenai rujukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kembali pada telaah di atas, seharusnya rujukan yang tepat adalah PP atau Kepmen yang sesuai dengan bidang kewenangan dan kompetensinya. Dalam hal pengelolaan keuangan Daerah yang berwenang dan kompeten adalah Departemen Keuangan sehingga aturan yang tepat setelah PP adalah Keputusan Menteri Keuangan.

Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah telah mengisi ayat (4) dalam pasal 14 PP 105/2000 tersebut, sebagai rujukan dalam pengelolaan keuangan Daerah. Dan akhirnya lahirlah Kepmendagri No 29/2002 sebagai aturan yang mengikat Daerah-Daerah dalam manajemen dan pengelolaan keuangan Daerah. Berdasarkan telaah dan tinjauan di atas, dan kalau kita berpikir jernih mengacu kepada semangat reformasi tata kelola Pemerintah Daerah untuk mencapai good governance, maka kita dapat mengatakan bahwa ayat (4) pasal 14 PP 105/2000 tersebut merupakan ayat sisipan (baca: curian) yang dipaksakan.

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lahirnya Kepmendagri 29/2002 sebagai amanah otonomi daerah telah melenceng dari tujuan reformasi tata kelola keuangan daerah yang menginginkan transparansi dan akuntabilitas publik. Keputusan ini diambil hanya untuk memanfaatkan kekosongan standar akuntansi keuangan pemerintah dan akan banyak menghasilkan proyek berikutnya. Maka disisipkanlah ayat (4) pasal 14 dalam PP 105/2000 yang memberikan legitimasi Depdagri untuk mengeluarkan Keputusannya Nomor 29 Tahun 2002 tersebut sebagai landasan Daerah dalam praktik pengelolaan keuangan Daerah. Kepmendagri 29/2002 yang telah terlanjur dipaksakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia ini telah menghasilkan kebingungan yang sangat besar. Daerah-daerah mengalami kebimbangan untuk menerapkan peraturan mana yang akan dilaksanakan, serta kebingungan bagaimana melaksanakan peraturan yang ada sekarang karena banyaknya ketidakjelasan yang terkandung dalam peraturan itu.

Dalam kondisi daerah mengalami kebingungan yang belum selesai, munculah peraturan baru, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur juga masalah Keuangan Daerah di dalamnya. Dalam waktu dekat akan ditetapkan pula Peraturan Pemerintah mengenai Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang mengacu pada UU Keuangan Negara. Daerah harus memformat kembali pemahamannya tentang administrasi pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan daerah berdasarkan peraturan yang baru. Tidak sedikit dana anggaran yang telah dialokasikan untuk mengimplementasikan Kepmendagri 29/2002 ini.

Kita tentu saja tidak menginginkan semangat otonomi daerah ini menjadi ajang memanfaatkan ketidaktahuan sumber daya manusia di daerah, menjadikan daerah sebagai ‘sapi perahan’ saja. Kita menginginkan regulasi yang dapat memberikan kepastian dan kejelasan pemerintah daerah dalam pelaksanaan tata kelola dan manajemen keuangan daerah. Kita semua berharap agar pelaksanaan Otonomi Daerah yang baru beberapa tahun ini tetap berjalan dalam koridor yang benar (on the right track) dan benar-benar mengedepankan good governance untuk mencapai tujuan reformasi.

1 comment:

Anonymous said...

Sangat bagus sekali artikelnya pak, sangat bermanfaat, terimaksasih