Friday, February 8, 2008

TELAAH KRITIS PERMENDAGRI NO. 13/2006

TELAAH KRITIS PERMENDAGRI NO. 13/2006,
DAN IMPLEMENTASINYA DI DAERAH

(Dimuat di Harian Tribun Timur, Kamis, 23 Maret 2007)


PENDAHULUAN


PP 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, merupakan salah satu peraturan operasional dalam implementasi Otonomi Daerah, setelah era reformasi tata kelola keuangan negara/daerah yang ditandai dengan disahkannya paket undang-undang bidang keuangan negara. PP ini telah mendorong Daerah-daerah untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam manajemen dan pengelolaan keuangan Daerah. Dengan manajemen Keuangan Daerah yang sehat diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah di bidang keuangan akan lebih terukur. Upaya ini harus mendapat dukungan dari semua pihak karena merupakan salah satu tuntutan reformasi yang menekankan pada upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

PP ini juga telah melahirkan regulasi baru sebagai aturan pelaksanaannya karena adanya pasal kunci dalam PP 58/2005 yaitu pasal 154, yang berbunyi,

Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.”

Oleh karena itu, lahirlah Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta..... Permendagri no. 13 ini merupakan pedoman umum bagi pemerintah daerah di dalam melaksanakan tata kelola keuangannya. Daerah masih mempunyai banyak pekerjaan rumah (PR-pent) yaitu harus menyusun aturan pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah, dalam bentuk Perda Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan berbagai Peraturan Kepala Daerah terkait dengan implementasinya.

Pada awalnya, kemunculan Permendagri No. 13/2006 sangat ditunggu-tunggu semua kalangan, khususnya pemerintah daerah, karena diharapkan akan memberikan kejelasan dan kepastian dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, dikeluarkannya Permendagri No. 13/2006 semakin menambah ruwet, ketidakjelasan dan kebingungan daerah dalam mencari bentuk (patron) tata kelola keuangan daerah. Peraturan ini kurang memiliki landasan konsepsional yang kuat sehingga dikhawatirkan tidak konsisten dalam implementasinya. Harapan untuk menciptakan pengelolaan keuangan daerah yang ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel melalui anggaran berbasis kinerja semakin redup. Justru malah sebaliknya, ber-POTENSI menimbulkan banyak masalah dan temuan-temuan dalam pengelolaan APBD tahun 2007 ini. Anggaran kinerja hanya sebuah nama dan sebutan yang indah belaka dalam kamus pengelolaan keuangan publik. Implementasinya baru sebatas format-format dan kerangka perencanaan dan penganggaran. Secara substansi dan paradigma masih menggunakan cara-cara lama (anggaran tradisional).

SINKRONISASI PERATURAN

Depdagri yang secara historis merupakan ‘bapaknya’ pemerintah daerah, tidak rela kehilangan kekuasaannya yang begitu besar dengan adanya otonomi daerah. Dengan dalih pembinaan keuangan daerah, intervensi penyelenggaraan pemerintah daerah, dan berlindung di balik PP 58/2005 maka Depdagri telah mengeluarkan produk hukum yang sangat membingungkan daerah.

Bidang pengelolaan keuangan publik, baik pusat maupun daerah adalah wewenang dari Depkeu sebagai pemegang otoritas public finance policy. Departemen Keuangan akan menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagai fasilitas untuk melakukan kompilasi, analisis data dan penyediaan informasi keuangan daerah secara nasional. (Lihat pasal 101 dan 102 UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah). Sistem ini bertujuan untuk membantu Menteri Keuangan dalam merumuskan kebijakan fiskal dan kebijakan keuangan daerah serta melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan Desentralisasi, Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Pinjaman Daerah, dan defisit anggaran Daerah. Jadi yang akan melakukan kompilasi informasi keuangan daerah secara nasional adalah Depkeu bukan Depdagri. Oleh karena itu, seharusnya aturan, pedoman dan standar dalam penatausahaan keuangan daerah dan akuntansi keuangan daerah yang mengatur adalah Departemen Keuangan.

Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Depdagri dalam rangka pembinaan pemerintah daerah masih bersifat pedoman umum yang masih harus ditindaklanjuti dengan peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah. Yang lebih penting adalah peraturan-peraturan tersebut harus sinkron (tidak menyimpang-pent) dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu undang-undang dan peraturan pemerintah. Jika beririsan wewenang/otoritas terkait objek pengaturan dengan departemen/lembaga lain, maka Depdagri harus senantiasa berkoordinasi (bersinergi) dengan departemen/lembaga tersebut.

Dalam hal pengaturan pengelolaan keuangan daerah, tentunya Depdagri harus bersinergi dengan Depkeu sehingga keluar produk hukum yang sinkron/sejalan dengan arah reformasi tata kelola keuangan negara/daerah. Peraturan yang jelas dan konsisten dapat memberikan kepastian hukum bagi daerah dalam implementasinya. Oleh karena itu, Permendagri No. 13/2006 yang mengatur mengenai pedoman pengelolaan keuangan daerah seharusnya sinkron dan sinergi dengan paket undang-undang bidang keuangan negara, PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

TELAAH KRITIS

Kenyataan yang terjadi menunjukkan bahwa Permendagri No. 13/2006 seolah-olah disusun dengan konsep yang kurang matang, dalam waktu yang terburu-buru dan akhirnya lahir secara prematur. Regulasi yang lahir prematur tentu mengandung berbagai kelemahan dan kekurangan bahkan ketidakjelasan arah. Apalagi kalo dilahirkan dalam kondisi suhu politik yang tinggi yaitu adanya perang kepentingan antar instansi yang merasa berwenang untuk mengaturnya. Dalam hal ini, terkesan tidak ada koordinasi di tingkat pemerintah pusat dalam membuat dan menetapkan peraturan pelaksanaan pada tingkat operasional yang lebih rendah. Pada akhirnya daerah yang menjadi korban, dan harus mengeluarkan dana kas daerah yang tidak sedikit demi implementasi peraturan tersebut.

Permendagri no. 13/2006 masih banyak mengandung ketidakjelasan dan ketidaktegasan dalam memberikan pedoman kepada daerah. Hal ini mengakibatkan kebingungan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangannya. Secara singkat ketidakjelasan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Konsep KPA (Kuasa Pengguna Anggaran)


KPA adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan Pengguna Anggaran (PA) dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD. Pelimpahan sebagian kewenangan dimaksud berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya. Pelimpahan sebagian kewenangan ini ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala SKPD.

Definisi di atas memberikan pengertian bahwa, tugas pokok dan fungsi KPA sama dengan PA khusus untuk kewenangan yang dilimpahkan. KPA bertanggungjawab terhadap kewenangannya mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawabnnya. KPA merupakan accounting entity, sehingga berkewajiban untuk mempertanggung-jawabkan dan menyusun laporan keuangan atas transaksi keuangannya. Selain itu, dalam struktur KPA harus memiliki fungsi dasar yang harus ada dalam pelaksanaan anggaran, yaitu pembuat komitmen, pengujian (ordonancering) dan bendahara pengeluaran. Hal ini berarti bahwa KPA harus menyusun sendiri RKA, DPA, dan menerbitkan SPM sendiri dalam rangka pencairan dana. Makanya dalam Permendagri No. 13/2006, dalam pasal-pasalnya disebutkan bahwa PA/KPA menandatangani SPM.

Dalam implementasinya, banyak daerah yang salah tafsir terhadap konsep KPA ini. KPA hanya didefinisikan sebagai kepala unit kerja di bawah SKPD yang diberi pelimpahan sebagian tugas kepala SKPD sebagai PA. Jadi yang dilimpahkan adalah sebagian tugas-tugas PA bukan kewenangan PA. Akhirnya banyak kepala SKPD yang menunjuk para bawahannya (subdinas, bagian, bidang, dll) sebagai KPA tanpa adanya tiga fungsi dasar dalam pelaksanaan anggaran. RKA dan DPA masih menginduk di SKPD. Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) dan bendahara pengeluaran juga masih menyatu dengan SKPD. Pertanyaan yang menggelitik adalah: Apa bedanya dilimpahkan (ditunjuk) atau tidak KPA seperti ini ? Toh dalam keseharian memang mereka menjalankan tugas-tugas kepala SKPD.

Hal demikian terjadi karena ketidakjelasan Permendagri No. 13/2006 dalam menjelaskan konsep KPA. Akhirnya banyak terjadi salah penafsiran yang berbeda-beda, dan melenceng dari konsepsi KPA yang sebenarnya.

Konsep DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran)

DPA-SKPD adalah dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran. Kalo APBD dan penjabarannya bisa dikatakan sebagai dokumen perencanaan, maka DPA merupakan dokumen pelaksanaan. Sehingga APBD tidak bisa dilaksanakan sebelum disahkannya DPA masing-masing SKPD. Apa yang tertuang di dalam DPA-SKPD sifatnya wajib untuk dilaksanakan dan tidak boleh menyimpang dari ketentuan DPA. Oleh karena itu, jika DPA semakin merinci rekening pengeluaran daerah, maka akan semakin kaku dalam pelaksanaannya. Misalnya:

Kalo dalam DPA ada belanja ATK dan masih dirinci lagi menjadi kertas 5 rim, Pulpen 20 buah, peluru hecter 5 kotak, dll... maka rincian itu harus ditaati. Pengeluaran tidak boleh melebihi rincian pengeluaran tersebut.

Kejanggalan yang kedua terkait dengan DPA adalah pemberian nomor DPA yang dirinci per kegiatan atau bisa dibahasakan setiap kegiatan memiliki DPA tersendiri. Dalam pasal 124 ayat (2) Permendagri No. 13/2006 disebutkan bahwa yang
mengesahkan rancangan DPA-SKPD adalah PPKD dengan persetujuan Sekretaris Daerah (Sekda). Namun dalam format DPA di lampirannya, yang bertanda tangan di ringkasan DPA-SKPD cuma Sekda, dan di rincian DPA masing-masing yang bertanda tangan cuma PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah). Dimana tanggung jawab kepala SKPD sebagai penyusun DPA ? Selain itu, DPA yang mendapat persetujuan Sekda cuma ringkasan DPA (halaman pertama).

Hal ini berimplikasi pada pelaksanaannya, yaitu DPA yang mana yang harus menjadi dasar pelaksanaan anggaran ? Apakah ringkasan DPA atau rinciannya ? Penomoran DPA per kegiatan juga berpengaruh terhadap pengajuan SPP (Surat Permintaan Pembayaran) oleh Bendahara Pengeluaran khususnya SPP-UP (Uang Persediaan), karena dasar untuk pengajuan SPP adalah nomor DPA dan SPD (Surat Penyediaan Dana). Akhirnya setiap kegiatan disediakan dana UP tersendiri. Maka Bendahara harus lebih repot dalam mengelola uang dan menatausahakan penggunaan uangnya, serta harus mengontrol dana UP setiap kegiatan.

Seandainya DPA diperlakukan sebagai satu dokumen dan satu nomor DPA -yang berarti bahwa pengesahan DPA berarti pengesahan rincian DPA - maka akan lebih simpel. Setiap SKPD satu Dana UP untuk melayani semua kegiatan. Hasilnya adalah lebih fleksibel bagi bendahara dalam mengelolanya dan tidak banyak dana Kasda yang mengendap di tangan Bendahara. Dana lebih baik mengendap di Kasda daripada mengendap di tangan Bendahara, atau bahkan bisa dimanfaatkan untuk investasi jangka pendek yang menghasilkan jasa giro bagi daerah.

Mekanisme UP (Uang Persediaan) dan GU (Penggantian Uang Persediaan)

Konsep UP dalam pencairan dana mengingatkan kita pada mekanisme UYHD (Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan) dalam pola lama. Ciri-ciri sistem UYHD adalah: sistem dana tetap (imprest fund); bersifat luwes/fleksibel dan berdaur ulang (revolving fund); dan belum membebani anggaran pengeluaran. Oleh karena itu, dalam mekanisme pengajuan SPP-UP bisa dirinci per rekening untuk menjadi acuan besarannya UP dan menunjukkan rekening mana yang boleh dimintakan UP. Namun, ketika terbit SPM (Surat Perintah Membayar) tidak boleh dirinci lagi per rekening belanja. Ketika SPM-UP dirinci per rekening belanja, hal ini berarti pengeluaran ini sudah membebani anggaran belanja yang bersangkutan. Harusnya dibuatkan rekening pengeluaran sementara/transito yang sifatnya belum membebani anggaran.

Besaran UP per SKPD, rekening-rekening mana yang boleh menggunakan UP, kapan penggunaan dana UP bisa dimintakan pertanggungjawaban (GU), besarnya nilai kwitansi yang tidak boleh menggunakan UP, dan hal-hal teknis lainnya diatur dengan peraturan kepala daerah. Diharapkan dengan mekanisme UP ini akan mengurangi dana mengendap di setiap SKPD dan pelaksanaan anggaran di setiap SKPD lebih mudah dan fleksibel.

Permendagri No. 13/2006 tidak menjelaskan secara tegas tentang mekanisme UP, apakah mengacu pada sistem UYHD atau UUDP seperti yang sebelumnya. Apakah mekanisme pengajuan GU setiap bulan sekali atau bisa berkali-kali dalam satu bulan ? Secara implisit dikatakan bahwa GU diajukan sebulan sekali, karena ada mekanisme SPJ secara terpisah dengan pengajuan GU. Padahal secara konsep, pengajuan GU adalah sekaligus SPJ atas penggunaan UP sebelumnya. Karena ketidaktegasan inilah, banyak kalangan yang mengatakan bahwa aturan Permendagri No. 13 dalam hal ini ‘banci’.

Sistem Akuntansi

Kalo kita kritisi lebih jauh Permendagri No. 13/2006 dari aspek akuntansi lebih banyak lagi kelemahan dan kekurangannya. Ini menandakan bahwa tim perumusnya kurang memperhatikan aspek akuntansi secara komprehensif (comprehensive accounting). Aspek-aspek akuntansi yang harus diperhatikan meliputi: konsep dasar akuntansi keuangan, konsep dasar akuntansi pemerintah, standar akuntansi pemerintahan, prinsip dasar akuntansi, kebijakan akuntansi, sistem akuntansi, bagan perkiraan standar, jurnal standar dan posting rules, karakteristik kualitatif laporan keuangan (a.l. relevan, reliable, complete, comparable, dll). Dilengkapi dengan pemahaman mendasar dan menyeluruh tentang konsepsi keuangan negara dan tata kelola keuangan negara/daerah, serta substansi reformasi tata kelola keuangan negara kita.

Berikut ini beberapa kelemahan yang nampak dari Permendagri No. 13/2006 dari aspek akuntansi :

a. Klasifikasi belanja langsung dan tidak langsung dalam bagan perkiraan rekening menyimpang dari standar akuntansi pemerintahan (SAP);

b. Bagan perkiraan rekening belanja yang tidak konsisten dengan format laporan keuangan yang diinginkan, misalnya dalam format Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tidak lagi mencantumkan belanja langsung dan tidak langsung, tetapi langsung menyajikan belanja operasi;

c. Rekening Belanja Peralatan dan Mesin tidak didefinisikan secara jelas, sementara di LRA harus menyajikan belanja ini;

d. Penerapan metode penyusutan yang biasanya hanya dikenal di akuntansi basis akrual dan untuk tujuan matching cost and benefit, sementara untuk pemerintahan masih menggunakan basis kas modifikasian.

e. Tidak jelas jurnal standar dan posting rules;

f. Tidak menggambarkan secara jelas perbedaan sistem akuntansi umum, sistem akuntansi BUD/Kasda dan sistem akuntansi SKPD;

g. Penggunaan special journal yang salah dalam akuntansi SKPD, yaitu Jurnal Penerimaan Kas dan Jurnal Pengeluaran Kas, dimana kas yang dimaksud adalah Kas Daerah. Karena dengan sistem cash basis, pengakuan pendapatan dan belanja ketika uang sudah masuk ke dan keluar dari Kas Daerah. Apakah di setiap SKPD memiliki Kas Daerah ?;

h. Dasar untuk melakukan penjurnalan setiap transaksi adalah SPJ dari Bendahara. Hal ini janggal, karena dasar untuk pencatatan akuntansi pertama adalah dokumen sumber yang sah (SPM-SP2D, STS, Nota Debet, Nota Kredit). Dokumen sumber merupakan bukti otentik yang mencerminkan kejadian transaksi keuangan yang sah antara pemerintah dengan pihak lain;

i. Format laporan keuangan yang tidak konsisten dengan bagan perkiraan rekening, sehingga harus dilakukan modifikasi dan konversi ketika mau membuat laporan keuangan;

j. Dan lain-lain.

PENUTUP


Kita tentu saja tidak menginginkan semangat otonomi daerah ini menjadi ajang memanfaatkan ketidaktahuan sumber daya manusia di daerah, menjadikan daerah sebagai ‘sapi perahan’ dan ‘kelinci percobaan’ saja. Kita menginginkan regulasi yang dapat memberikan kepastian dan kejelasan pemerintah daerah dalam pelaksanaan tata kelola dan manajemen keuangan daerah. Kita tidak ingin muncul anekdot baru “Depdagri tidak mau kehilangan kekuasaannya, Depkeu tidak ingin kehilangan pengaruhnya di daerah”.

Tulisan ini lebih dimaksudkan sebagai kritik seorang warganegara yang ingin melihat pemerintahan ini dikelola secara professional dan mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan individu/golongan.

No comments: