Wednesday, February 13, 2008

MENGENANG KEPMENDAGRI 29-2002 PENGELOLAAN KEUDA

KEPMENDAGRI NO. 29/2002 :
TINJAUAN LAHIRNYA SEBAGAI SEBUAH KEPUTUSAN

Pendahuluan

PP 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, merupakan salah satu peraturan operasional dalam implementasi Otonomi Daerah. PP ini telah mendorong Daerah-daerah untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam manajemen dan pengelolaan keuangan Daerah. Dengan manajemen Keuangan Daerah yang sehat diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah di bidang keuangan akan lebih terukur. Oleh karena itu, lahirnya PP tersebut merupakan langkah maju Pemerintah Pusat dan terobosan yang revolusioner dalam menata sistem pemerintahannya khususnya dalam pengelolaan keuangannya. Upaya ini harus mendapat dukungan dari semua pihak karena merupakan salah satu tuntutan reformasi yang menekankan pada upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

PP ini juga telah melahirkan regulasi baru sebagai aturan pelaksanaannya yaitu Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran dan Belanja Daerah. Dikatakan bahwa Kepmendagri 29/2002 ini dikeluarkan sebagai amanah Otonomi Daerah, sebagai tindak lanjut dan aturan pelaksana dari PP 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Dalam pelaksanaannya, Kepmendagri No. 29/2002 ini setengah dipaksakan bagi Pemerintah Daerah untuk menjadi acuan utama dalam pengelolaan keuangan. Bahkan Daerah-daerah diwajibkan untuk menyusun APBD dan membuat Sistem Akuntansi Keuangan Daerahnya dengan mengacu kepada Kepmendagri 29/2002 ini. Suatu pemaksaan yang justru menggambarkan kelemahannya. Selain membingungkan, Kepmendagri No. 29/2002 tidak memiliki landasan konsepsional yang kuat sehingga tidak memiliki konsistensi karena sering berubah-ubah dalam sosialisasi melalui training dan pelatihan-pelatihannya.

Hal ini WAJAR karena Kepmendagri No. 29/2002 ini lahir berkat adanya ayat sisipan (colongan) dalam PP 105/2000. Dengan ayat ini, maka dibuatlah proyek-proyek besar berskala nasional yang banyak menyerap dan menghasilkan dana, baik dari dana pusat maupun dari daerah-daerah.

TELAAH

Sebelum menelaah lebih lanjut, berikut ini dipaparkan beberapa pasal dalam peraturan-peraturan tentang Otonomi Daerah:

UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah:

1. Pasal 69, “Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

2. Pasal 70, “Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

3. Pasal 86 ayat (4), “Pedoman tentang penyusunan, perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”

4. Pasal 86 ayat (6), “Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan Daerah serta tata cara penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan Daerah dan penyusunan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah:

1. Pasal 23 ayat (1), “Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.”

2. Pasal 23 ayat (2), “Sistem dan Prosedur pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

3. Pasal 27 ayat (1), “Pemerintah Pusat menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan Daerah.”

4. Pasal 27 ayat (3), “Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”

PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah:

1. Pasal 14 ayat (1), “Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

2. Pasal 14 ayat (2), “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengatur tentang :

a. kerangka dan garis besar prosedur penyusunan APBD;

b. kewenangan keuangan Kepala Daerah dan DPRD;

c. prinsip-prinsip pengelolaan kas;

d. prinsip-prinsip pengelolaan Pengeluaran Daerah yang telah dianggarkan;

e. tata cara pengadaan barang dan jasa;

f. prosedur melakukan Pinjaman Daerah;

g. prosedur pertanggungjawaban keuangan;

h. dan hal-hal lain yang menyangkut pengelolaan Keuangan Daerah.”

3. Pasal 14 ayat (3), “Sistem dan Prosedur pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”

4. Pasal 14 ayat (4), “Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan Daerah serta tata cara penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan Daerah dan penyusunan perhitungan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.”

Dari berbagai pasal dan ayat dalam peraturan perundang-undangan tentang Otonomi Daerah di atas, dapat dilihat bahwa dalam berbagai aspek berkaitan dengan pengelolaan Keuangan Daerah, dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah. Namun, bagaimana pun juga Perda dan Keputusan Kepala Daerah harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan hierarki peraturan yang berlaku di Indonesia. (Lihat pasal 70 UU No 22/1999 di atas).

Sebagaimana kita semua tahu bahwa hierarki peraturan perundangan yang ada di Indonesia adalah: UUD, Tap MPR, UU, PP, Perpu, Kepres, Inpres, dan Kepmen. Sedangkan Perda merupakan peraturan tertinggi untuk skup Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah untuk mengatur berbagai hal yang memang menjadi wewenang Daerah dalam pengelolaannya. Perda merupakan kesepakatan dan keputusan bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD, yang berarti ‘setingkat’ dengan UU untuk Pemerintah Pusat. Namun demikian, karena Daerah tidak berdiri sendiri sebagai sebuah negara, maka Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan dari Pusat, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan melihat kondisi di atas, maka seyogyanya sebuah Perda harus mengacu kepada UUD sampai dengan PP sebagai keputusan dan kebijakan dari Pemerintah Pusat. Perda tidak harus tunduk mutlak kepada Keputusan Menteri, kecuali untuk bidang kewenangan yang diatur oleh Pemerintah pusat dan ditangani oleh departemen khusus oleh Pusat, misalnya Departemen Luar Negeri, Pertahanan, Agama dan Keuangan. Akan tetapi, Kepmen dapat menjadi pedoman bagi Daerah selama Kepmen tersebut mengatur hal-hal yang betul-betul menjadi bidang kewenangan menteri/departemen yang bersangkutan. Jika tidak demikian, maka akan terjadi banyak penyimpangan, kejanggalan dan pertentangan antar peraturan dalam mekanisme penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Jika wilayah departemen A diambil oleh departemen B, masing-masing mengeluarkan aturan dan panduan pelaksanaan bagi Daerah, maka apa yang terjadi dapat kita bayangkan. Di tingkat Pusat akan dicap tidak ada koordinasi dan di tingkat Daerah akan terjadi kebingungan dalam implementasinya. Kalau suatu masalah ditangani oleh lembaga yang bukan merupakan bidang kompetensinya, maka kemungkinan besar akan terjadi ketidakjelasan dan kerancuan dalam penanganan masalah tersebut. Dan pada akhirnya banyak permasalahan baru yang muncul kemudian dalam implementasi peraturan tersebut.

Dalam tata kelola Pemerintahan Daerah terutama dalam hal pengelolaan Keuangan Daerah sebagai wujud implementasi Otonomi Daerah, apa yang digambarkan di atas benar-benar terjadi. Departemen Dalam Negeri yang secara historis merupakan ‘bapaknya’ pemerintah daerah, tidak rela kehilangan kekuasaannya yang begitu besar dengan adanya otonomi daerah. Dengan dalih pembinaan keuangan daerah, intervensi penyelenggaraan pemerintah daerah, dan berlindung di balik PP 105/2000 maka Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan produk hukum yang sangat membingungkan daerah, yaitu Surat Keputusan Nomor : 29 tahun 2002 tanggal 10 Juni 2002. (Lihat pasal 14 ayat (4) PP 105/2000 di atas)

Selain itu, Departemen Dalam Negeri melalui suratnya kepada Presiden RI Nomor 901/360/SJ tanggal 20 Pebruari 2003 perihal Kerancuan sekitar Pengelolaan Keuangan Daerah, telah menuduh Departemen Keuangan telah menyerobot wilayah kekuasaannya dalam hal pembinaan dan pengaturan pengelolaan keuangan daerah. Depdagri telah menganggap bahwa distorsi peran Depkeu dalam pembinaan keuangan daerah, khususnya akuntansi keuangan daerah ini telah menyebabkan mencuatnya berbagai permasalahan dalam manajemen keuangan daerah.

Hal ini justru terbalik, semenjak Otonomi Daerah Depdagri tidak bisa lagi intervensi terlalu jauh terhadap Daerah, karena Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan Daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Diperlukan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis, efisien, efektif dan akuntabel. Bidang pengelolaan keuangan publik, baik pemerintah pusat maupun daerah adalah wewenang dari Departemen Keuangan sebagai pemegang otoritas public finance policy. Oleh karena itu, untuk mengatur masalah pengelolaan keuangan daerah harus diberikan kepada departemen yang mempunyai bidang kompetensinya yaitu Departemen Keuangan.

Departemen Keuangan juga akan menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagai fasilitas untuk melakukan validasi, mengolah, menganalisis data dan menyediakan informasi keuangan daerah. (Lihat pasal 27 ayat (1) dan (3) UU No 25/1999 di atas). Sistem ini bertujuan untuk membantu Menteri Keuangan dalam merumuskan kebijakan keuangan daerah, evaluasi kinerja keuangan daerah, dan membantu Pemerintah Daerah dalam penyusunan RAPBD, pemerintahan dan pembangunan Daerah. Jadi yang akan melakukan kompilasi informasi keuangan daerah adalah Departemen Keuangan bukan Departemen Dalam Negeri. Oleh karena itu, aturan, pedoman dan standar dalam penyelenggaraan administrasi dan akuntansi keuangan daerah yang mengatur adalah Departemen Keuangan.

TINJAUAN ATAS PASAL 14 PP 105/2000

Kepmendagri 29/2002 lahir sebagai tindak lanjut dan aturan pelaksana dari PP 105/2000 sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (4). Padahal kalau kita tinjau dan teliti lebih dalam pasal 14 dalam PP 105, terdapat kejanggalan dalam aturan tersebut. Sudah jelas diatur ketentuan mengenai pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Peraturan Daerah, dan Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Perda. Isi dari pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah juga sudah dirinci dalam ayat (2) pasal 14. Tiba-tiba muncul ayat (4) yang terasa tidak nyambung dengan 3 ayat sebelumnya. Kalau memang Kepmendagri akan menjadi pedoman dalam pengelolaan keuangan daerah, harusnya dicantumkan dalam ayat (1). Akan terdengar lucu ketika pedoman yang menjadi rujukan ayat (1), (2), dan (3) ada di ayat (4). Ayat rujukan dan referensi ada di paling belakang (baca: lahir belakangan).

Ayat (1) telah berbicara mengenai rujukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kembali pada telaah di atas, seharusnya rujukan yang tepat adalah PP atau Kepmen yang sesuai dengan bidang kewenangan dan kompetensinya. Dalam hal pengelolaan keuangan Daerah yang berwenang dan kompeten adalah Departemen Keuangan sehingga aturan yang tepat setelah PP adalah Keputusan Menteri Keuangan.

Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah telah mengisi ayat (4) dalam pasal 14 PP 105/2000 tersebut, sebagai rujukan dalam pengelolaan keuangan Daerah. Dan akhirnya lahirlah Kepmendagri No 29/2002 sebagai aturan yang mengikat Daerah-Daerah dalam manajemen dan pengelolaan keuangan Daerah. Berdasarkan telaah dan tinjauan di atas, dan kalau kita berpikir jernih mengacu kepada semangat reformasi tata kelola Pemerintah Daerah untuk mencapai good governance, maka kita dapat mengatakan bahwa ayat (4) pasal 14 PP 105/2000 tersebut merupakan ayat sisipan (baca: curian) yang dipaksakan.

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lahirnya Kepmendagri 29/2002 sebagai amanah otonomi daerah telah melenceng dari tujuan reformasi tata kelola keuangan daerah yang menginginkan transparansi dan akuntabilitas publik. Keputusan ini diambil hanya untuk memanfaatkan kekosongan standar akuntansi keuangan pemerintah dan akan banyak menghasilkan proyek berikutnya. Maka disisipkanlah ayat (4) pasal 14 dalam PP 105/2000 yang memberikan legitimasi Depdagri untuk mengeluarkan Keputusannya Nomor 29 Tahun 2002 tersebut sebagai landasan Daerah dalam praktik pengelolaan keuangan Daerah. Kepmendagri 29/2002 yang telah terlanjur dipaksakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia ini telah menghasilkan kebingungan yang sangat besar. Daerah-daerah mengalami kebimbangan untuk menerapkan peraturan mana yang akan dilaksanakan, serta kebingungan bagaimana melaksanakan peraturan yang ada sekarang karena banyaknya ketidakjelasan yang terkandung dalam peraturan itu.

Dalam kondisi daerah mengalami kebingungan yang belum selesai, munculah peraturan baru, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur juga masalah Keuangan Daerah di dalamnya. Dalam waktu dekat akan ditetapkan pula Peraturan Pemerintah mengenai Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang mengacu pada UU Keuangan Negara. Daerah harus memformat kembali pemahamannya tentang administrasi pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan daerah berdasarkan peraturan yang baru. Tidak sedikit dana anggaran yang telah dialokasikan untuk mengimplementasikan Kepmendagri 29/2002 ini.

Kita tentu saja tidak menginginkan semangat otonomi daerah ini menjadi ajang memanfaatkan ketidaktahuan sumber daya manusia di daerah, menjadikan daerah sebagai ‘sapi perahan’ saja. Kita menginginkan regulasi yang dapat memberikan kepastian dan kejelasan pemerintah daerah dalam pelaksanaan tata kelola dan manajemen keuangan daerah. Kita semua berharap agar pelaksanaan Otonomi Daerah yang baru beberapa tahun ini tetap berjalan dalam koridor yang benar (on the right track) dan benar-benar mengedepankan good governance untuk mencapai tujuan reformasi.

Friday, February 8, 2008

TELAAH KRITIS PERMENDAGRI NO. 13/2006

TELAAH KRITIS PERMENDAGRI NO. 13/2006,
DAN IMPLEMENTASINYA DI DAERAH

(Dimuat di Harian Tribun Timur, Kamis, 23 Maret 2007)


PENDAHULUAN


PP 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, merupakan salah satu peraturan operasional dalam implementasi Otonomi Daerah, setelah era reformasi tata kelola keuangan negara/daerah yang ditandai dengan disahkannya paket undang-undang bidang keuangan negara. PP ini telah mendorong Daerah-daerah untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam manajemen dan pengelolaan keuangan Daerah. Dengan manajemen Keuangan Daerah yang sehat diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah di bidang keuangan akan lebih terukur. Upaya ini harus mendapat dukungan dari semua pihak karena merupakan salah satu tuntutan reformasi yang menekankan pada upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

PP ini juga telah melahirkan regulasi baru sebagai aturan pelaksanaannya karena adanya pasal kunci dalam PP 58/2005 yaitu pasal 154, yang berbunyi,

Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.”

Oleh karena itu, lahirlah Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta..... Permendagri no. 13 ini merupakan pedoman umum bagi pemerintah daerah di dalam melaksanakan tata kelola keuangannya. Daerah masih mempunyai banyak pekerjaan rumah (PR-pent) yaitu harus menyusun aturan pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah, dalam bentuk Perda Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan berbagai Peraturan Kepala Daerah terkait dengan implementasinya.

Pada awalnya, kemunculan Permendagri No. 13/2006 sangat ditunggu-tunggu semua kalangan, khususnya pemerintah daerah, karena diharapkan akan memberikan kejelasan dan kepastian dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, dikeluarkannya Permendagri No. 13/2006 semakin menambah ruwet, ketidakjelasan dan kebingungan daerah dalam mencari bentuk (patron) tata kelola keuangan daerah. Peraturan ini kurang memiliki landasan konsepsional yang kuat sehingga dikhawatirkan tidak konsisten dalam implementasinya. Harapan untuk menciptakan pengelolaan keuangan daerah yang ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel melalui anggaran berbasis kinerja semakin redup. Justru malah sebaliknya, ber-POTENSI menimbulkan banyak masalah dan temuan-temuan dalam pengelolaan APBD tahun 2007 ini. Anggaran kinerja hanya sebuah nama dan sebutan yang indah belaka dalam kamus pengelolaan keuangan publik. Implementasinya baru sebatas format-format dan kerangka perencanaan dan penganggaran. Secara substansi dan paradigma masih menggunakan cara-cara lama (anggaran tradisional).

SINKRONISASI PERATURAN

Depdagri yang secara historis merupakan ‘bapaknya’ pemerintah daerah, tidak rela kehilangan kekuasaannya yang begitu besar dengan adanya otonomi daerah. Dengan dalih pembinaan keuangan daerah, intervensi penyelenggaraan pemerintah daerah, dan berlindung di balik PP 58/2005 maka Depdagri telah mengeluarkan produk hukum yang sangat membingungkan daerah.

Bidang pengelolaan keuangan publik, baik pusat maupun daerah adalah wewenang dari Depkeu sebagai pemegang otoritas public finance policy. Departemen Keuangan akan menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagai fasilitas untuk melakukan kompilasi, analisis data dan penyediaan informasi keuangan daerah secara nasional. (Lihat pasal 101 dan 102 UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah). Sistem ini bertujuan untuk membantu Menteri Keuangan dalam merumuskan kebijakan fiskal dan kebijakan keuangan daerah serta melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan Desentralisasi, Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Pinjaman Daerah, dan defisit anggaran Daerah. Jadi yang akan melakukan kompilasi informasi keuangan daerah secara nasional adalah Depkeu bukan Depdagri. Oleh karena itu, seharusnya aturan, pedoman dan standar dalam penatausahaan keuangan daerah dan akuntansi keuangan daerah yang mengatur adalah Departemen Keuangan.

Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Depdagri dalam rangka pembinaan pemerintah daerah masih bersifat pedoman umum yang masih harus ditindaklanjuti dengan peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah. Yang lebih penting adalah peraturan-peraturan tersebut harus sinkron (tidak menyimpang-pent) dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu undang-undang dan peraturan pemerintah. Jika beririsan wewenang/otoritas terkait objek pengaturan dengan departemen/lembaga lain, maka Depdagri harus senantiasa berkoordinasi (bersinergi) dengan departemen/lembaga tersebut.

Dalam hal pengaturan pengelolaan keuangan daerah, tentunya Depdagri harus bersinergi dengan Depkeu sehingga keluar produk hukum yang sinkron/sejalan dengan arah reformasi tata kelola keuangan negara/daerah. Peraturan yang jelas dan konsisten dapat memberikan kepastian hukum bagi daerah dalam implementasinya. Oleh karena itu, Permendagri No. 13/2006 yang mengatur mengenai pedoman pengelolaan keuangan daerah seharusnya sinkron dan sinergi dengan paket undang-undang bidang keuangan negara, PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

TELAAH KRITIS

Kenyataan yang terjadi menunjukkan bahwa Permendagri No. 13/2006 seolah-olah disusun dengan konsep yang kurang matang, dalam waktu yang terburu-buru dan akhirnya lahir secara prematur. Regulasi yang lahir prematur tentu mengandung berbagai kelemahan dan kekurangan bahkan ketidakjelasan arah. Apalagi kalo dilahirkan dalam kondisi suhu politik yang tinggi yaitu adanya perang kepentingan antar instansi yang merasa berwenang untuk mengaturnya. Dalam hal ini, terkesan tidak ada koordinasi di tingkat pemerintah pusat dalam membuat dan menetapkan peraturan pelaksanaan pada tingkat operasional yang lebih rendah. Pada akhirnya daerah yang menjadi korban, dan harus mengeluarkan dana kas daerah yang tidak sedikit demi implementasi peraturan tersebut.

Permendagri no. 13/2006 masih banyak mengandung ketidakjelasan dan ketidaktegasan dalam memberikan pedoman kepada daerah. Hal ini mengakibatkan kebingungan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangannya. Secara singkat ketidakjelasan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Konsep KPA (Kuasa Pengguna Anggaran)


KPA adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan Pengguna Anggaran (PA) dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD. Pelimpahan sebagian kewenangan dimaksud berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya. Pelimpahan sebagian kewenangan ini ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala SKPD.

Definisi di atas memberikan pengertian bahwa, tugas pokok dan fungsi KPA sama dengan PA khusus untuk kewenangan yang dilimpahkan. KPA bertanggungjawab terhadap kewenangannya mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawabnnya. KPA merupakan accounting entity, sehingga berkewajiban untuk mempertanggung-jawabkan dan menyusun laporan keuangan atas transaksi keuangannya. Selain itu, dalam struktur KPA harus memiliki fungsi dasar yang harus ada dalam pelaksanaan anggaran, yaitu pembuat komitmen, pengujian (ordonancering) dan bendahara pengeluaran. Hal ini berarti bahwa KPA harus menyusun sendiri RKA, DPA, dan menerbitkan SPM sendiri dalam rangka pencairan dana. Makanya dalam Permendagri No. 13/2006, dalam pasal-pasalnya disebutkan bahwa PA/KPA menandatangani SPM.

Dalam implementasinya, banyak daerah yang salah tafsir terhadap konsep KPA ini. KPA hanya didefinisikan sebagai kepala unit kerja di bawah SKPD yang diberi pelimpahan sebagian tugas kepala SKPD sebagai PA. Jadi yang dilimpahkan adalah sebagian tugas-tugas PA bukan kewenangan PA. Akhirnya banyak kepala SKPD yang menunjuk para bawahannya (subdinas, bagian, bidang, dll) sebagai KPA tanpa adanya tiga fungsi dasar dalam pelaksanaan anggaran. RKA dan DPA masih menginduk di SKPD. Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) dan bendahara pengeluaran juga masih menyatu dengan SKPD. Pertanyaan yang menggelitik adalah: Apa bedanya dilimpahkan (ditunjuk) atau tidak KPA seperti ini ? Toh dalam keseharian memang mereka menjalankan tugas-tugas kepala SKPD.

Hal demikian terjadi karena ketidakjelasan Permendagri No. 13/2006 dalam menjelaskan konsep KPA. Akhirnya banyak terjadi salah penafsiran yang berbeda-beda, dan melenceng dari konsepsi KPA yang sebenarnya.

Konsep DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran)

DPA-SKPD adalah dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran. Kalo APBD dan penjabarannya bisa dikatakan sebagai dokumen perencanaan, maka DPA merupakan dokumen pelaksanaan. Sehingga APBD tidak bisa dilaksanakan sebelum disahkannya DPA masing-masing SKPD. Apa yang tertuang di dalam DPA-SKPD sifatnya wajib untuk dilaksanakan dan tidak boleh menyimpang dari ketentuan DPA. Oleh karena itu, jika DPA semakin merinci rekening pengeluaran daerah, maka akan semakin kaku dalam pelaksanaannya. Misalnya:

Kalo dalam DPA ada belanja ATK dan masih dirinci lagi menjadi kertas 5 rim, Pulpen 20 buah, peluru hecter 5 kotak, dll... maka rincian itu harus ditaati. Pengeluaran tidak boleh melebihi rincian pengeluaran tersebut.

Kejanggalan yang kedua terkait dengan DPA adalah pemberian nomor DPA yang dirinci per kegiatan atau bisa dibahasakan setiap kegiatan memiliki DPA tersendiri. Dalam pasal 124 ayat (2) Permendagri No. 13/2006 disebutkan bahwa yang
mengesahkan rancangan DPA-SKPD adalah PPKD dengan persetujuan Sekretaris Daerah (Sekda). Namun dalam format DPA di lampirannya, yang bertanda tangan di ringkasan DPA-SKPD cuma Sekda, dan di rincian DPA masing-masing yang bertanda tangan cuma PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah). Dimana tanggung jawab kepala SKPD sebagai penyusun DPA ? Selain itu, DPA yang mendapat persetujuan Sekda cuma ringkasan DPA (halaman pertama).

Hal ini berimplikasi pada pelaksanaannya, yaitu DPA yang mana yang harus menjadi dasar pelaksanaan anggaran ? Apakah ringkasan DPA atau rinciannya ? Penomoran DPA per kegiatan juga berpengaruh terhadap pengajuan SPP (Surat Permintaan Pembayaran) oleh Bendahara Pengeluaran khususnya SPP-UP (Uang Persediaan), karena dasar untuk pengajuan SPP adalah nomor DPA dan SPD (Surat Penyediaan Dana). Akhirnya setiap kegiatan disediakan dana UP tersendiri. Maka Bendahara harus lebih repot dalam mengelola uang dan menatausahakan penggunaan uangnya, serta harus mengontrol dana UP setiap kegiatan.

Seandainya DPA diperlakukan sebagai satu dokumen dan satu nomor DPA -yang berarti bahwa pengesahan DPA berarti pengesahan rincian DPA - maka akan lebih simpel. Setiap SKPD satu Dana UP untuk melayani semua kegiatan. Hasilnya adalah lebih fleksibel bagi bendahara dalam mengelolanya dan tidak banyak dana Kasda yang mengendap di tangan Bendahara. Dana lebih baik mengendap di Kasda daripada mengendap di tangan Bendahara, atau bahkan bisa dimanfaatkan untuk investasi jangka pendek yang menghasilkan jasa giro bagi daerah.

Mekanisme UP (Uang Persediaan) dan GU (Penggantian Uang Persediaan)

Konsep UP dalam pencairan dana mengingatkan kita pada mekanisme UYHD (Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan) dalam pola lama. Ciri-ciri sistem UYHD adalah: sistem dana tetap (imprest fund); bersifat luwes/fleksibel dan berdaur ulang (revolving fund); dan belum membebani anggaran pengeluaran. Oleh karena itu, dalam mekanisme pengajuan SPP-UP bisa dirinci per rekening untuk menjadi acuan besarannya UP dan menunjukkan rekening mana yang boleh dimintakan UP. Namun, ketika terbit SPM (Surat Perintah Membayar) tidak boleh dirinci lagi per rekening belanja. Ketika SPM-UP dirinci per rekening belanja, hal ini berarti pengeluaran ini sudah membebani anggaran belanja yang bersangkutan. Harusnya dibuatkan rekening pengeluaran sementara/transito yang sifatnya belum membebani anggaran.

Besaran UP per SKPD, rekening-rekening mana yang boleh menggunakan UP, kapan penggunaan dana UP bisa dimintakan pertanggungjawaban (GU), besarnya nilai kwitansi yang tidak boleh menggunakan UP, dan hal-hal teknis lainnya diatur dengan peraturan kepala daerah. Diharapkan dengan mekanisme UP ini akan mengurangi dana mengendap di setiap SKPD dan pelaksanaan anggaran di setiap SKPD lebih mudah dan fleksibel.

Permendagri No. 13/2006 tidak menjelaskan secara tegas tentang mekanisme UP, apakah mengacu pada sistem UYHD atau UUDP seperti yang sebelumnya. Apakah mekanisme pengajuan GU setiap bulan sekali atau bisa berkali-kali dalam satu bulan ? Secara implisit dikatakan bahwa GU diajukan sebulan sekali, karena ada mekanisme SPJ secara terpisah dengan pengajuan GU. Padahal secara konsep, pengajuan GU adalah sekaligus SPJ atas penggunaan UP sebelumnya. Karena ketidaktegasan inilah, banyak kalangan yang mengatakan bahwa aturan Permendagri No. 13 dalam hal ini ‘banci’.

Sistem Akuntansi

Kalo kita kritisi lebih jauh Permendagri No. 13/2006 dari aspek akuntansi lebih banyak lagi kelemahan dan kekurangannya. Ini menandakan bahwa tim perumusnya kurang memperhatikan aspek akuntansi secara komprehensif (comprehensive accounting). Aspek-aspek akuntansi yang harus diperhatikan meliputi: konsep dasar akuntansi keuangan, konsep dasar akuntansi pemerintah, standar akuntansi pemerintahan, prinsip dasar akuntansi, kebijakan akuntansi, sistem akuntansi, bagan perkiraan standar, jurnal standar dan posting rules, karakteristik kualitatif laporan keuangan (a.l. relevan, reliable, complete, comparable, dll). Dilengkapi dengan pemahaman mendasar dan menyeluruh tentang konsepsi keuangan negara dan tata kelola keuangan negara/daerah, serta substansi reformasi tata kelola keuangan negara kita.

Berikut ini beberapa kelemahan yang nampak dari Permendagri No. 13/2006 dari aspek akuntansi :

a. Klasifikasi belanja langsung dan tidak langsung dalam bagan perkiraan rekening menyimpang dari standar akuntansi pemerintahan (SAP);

b. Bagan perkiraan rekening belanja yang tidak konsisten dengan format laporan keuangan yang diinginkan, misalnya dalam format Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tidak lagi mencantumkan belanja langsung dan tidak langsung, tetapi langsung menyajikan belanja operasi;

c. Rekening Belanja Peralatan dan Mesin tidak didefinisikan secara jelas, sementara di LRA harus menyajikan belanja ini;

d. Penerapan metode penyusutan yang biasanya hanya dikenal di akuntansi basis akrual dan untuk tujuan matching cost and benefit, sementara untuk pemerintahan masih menggunakan basis kas modifikasian.

e. Tidak jelas jurnal standar dan posting rules;

f. Tidak menggambarkan secara jelas perbedaan sistem akuntansi umum, sistem akuntansi BUD/Kasda dan sistem akuntansi SKPD;

g. Penggunaan special journal yang salah dalam akuntansi SKPD, yaitu Jurnal Penerimaan Kas dan Jurnal Pengeluaran Kas, dimana kas yang dimaksud adalah Kas Daerah. Karena dengan sistem cash basis, pengakuan pendapatan dan belanja ketika uang sudah masuk ke dan keluar dari Kas Daerah. Apakah di setiap SKPD memiliki Kas Daerah ?;

h. Dasar untuk melakukan penjurnalan setiap transaksi adalah SPJ dari Bendahara. Hal ini janggal, karena dasar untuk pencatatan akuntansi pertama adalah dokumen sumber yang sah (SPM-SP2D, STS, Nota Debet, Nota Kredit). Dokumen sumber merupakan bukti otentik yang mencerminkan kejadian transaksi keuangan yang sah antara pemerintah dengan pihak lain;

i. Format laporan keuangan yang tidak konsisten dengan bagan perkiraan rekening, sehingga harus dilakukan modifikasi dan konversi ketika mau membuat laporan keuangan;

j. Dan lain-lain.

PENUTUP


Kita tentu saja tidak menginginkan semangat otonomi daerah ini menjadi ajang memanfaatkan ketidaktahuan sumber daya manusia di daerah, menjadikan daerah sebagai ‘sapi perahan’ dan ‘kelinci percobaan’ saja. Kita menginginkan regulasi yang dapat memberikan kepastian dan kejelasan pemerintah daerah dalam pelaksanaan tata kelola dan manajemen keuangan daerah. Kita tidak ingin muncul anekdot baru “Depdagri tidak mau kehilangan kekuasaannya, Depkeu tidak ingin kehilangan pengaruhnya di daerah”.

Tulisan ini lebih dimaksudkan sebagai kritik seorang warganegara yang ingin melihat pemerintahan ini dikelola secara professional dan mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan individu/golongan.